Floresa.co – Kabar duka muncul hari ini, Selasa, 6 Juni 2023 bagi mereka yang selama ini berjuang menolak proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.
Fransiskus Napang, salah satu warga adat desa itu dan pensiunan Aparatur Sipil Negeri yang aktif memperjuangkan penolakan proyek itu meninggal dunia dalam usia 67 tahun.
Ia mengalami komplikasi leukemia dan berbagai penyakit lainnya sebulan terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhir di RS St. Carolus Jakarta pada pukul 02.00 WIB.
Frans menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang guru PNS di Kampung Nunang, salah satu kampung yang masuk Desa Wae Sano.
Usai pensiun dua tahun lalu, ia terlibat aktif dalam gerakan menolak proyek geothermal di desanya, karena titik-titik pengeboran yang dekat dengan kampung dan lahan pertanian warga.
Ia terlibat dalam berbagai demonstrasi di Wae Sano dan Labuan Bajo dan turut serta dalam menyurati berbagai instansi, termasuk Bank Dunia untuk membatalkan rencana mendanai proyek tersebut.
Ia bergabung dengan sesama warga desa dalam aksi damai dan pameran hasil bumi di Labuan Bajo pada 4 Maret 2022, aksi simbolik yang menegaskan komitmen mereka mempertahankan ruang hidup.
Frans juga bersikap kritis pada Gereja Katolik yang dinilainya kurang peka terhadap permasalahan umat Wae Sano.
Dalam sebuah wawancara dengan Floresa pada 4 Maret 2022, ia mengatakan getol berjuang karena “kami tidak mau menanggung risiko di masa depan.”
“[Proyek ini] sangat mengancam ruang hidup dan masa depan anak cucu kami,” katanya.
Warga Wae Sano merasakan kehilangan sosok pendidik dan pejuang yang berani dan kritis ini.
“Selama dua tahun belakangan, Bapak Frans yang sebelumnya dikenal adem tampil sangat berani bersuara keras nan lantang menyuarakan penolakan geothermal Wae Sano,” kata Yosef Erwin Rahmat, salah satu warga Wae Sano.
“Ia juga berani secara kritis melawan narasi pemerintah, perusahaan, Bank Dunia, bahkan Gereja atas nama warga yang suaranya selalu diabaikan,” tambahnya.
Yosef mengatakan, Frans adalah sosok yang mempersatukan suara warga dalam semangat ‘Sekali Tolak Tetap Tolak’.
Venan Haryanto, aktivis yang juga ikut membantu perjuangan warga Wae Sano mengatakan Frans sangat tegas menyampaikan poin-poin penolakannya terhadap proyek geothermal yang membahayakan ruang hidup warga.
“Sama seperti warga penolak yang lain, baginya tidak ada ruang diskusi atau negosiasi dalam proyek geothermal,” katanya.
“Yang ada hanyalah penolakan total dari warga atas dasar keutuhan ruang hidup,” tambah Venan.
Senada dengan Venan, Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang mengatakan Frans adalah sosok pejuang sejati, “yang secara sadar keluar dari zona nyaman lalu memutuskan terlibat bersama warga Wae Sano.”
“Tak semua orang bisa memilih jalan seperti Bapak Frans, dan keteguhan sikapnya adalah warisan yang mesti dijaga dan disebarluaskan,” kayanya.
Belajar dari spirit Frans, kata dia, “perjuangan warga Wae Sano tak boleh takluk, apalagi tunduk di hadapan negara dan korporasi yang tamak.”
Informasi dari Yosef, Frans sudah menjalani perawatan atas komplikasi penyakitnya di Jakarta selama kurang lebih sebulan terakhir.
Jenazah Frans akan diberangkatkan dari Jakarta dan akan tiba di Labuan Bajo besok, Rabu, 7 Juni dan selanjutnya diantar ke rumah duka di Kampung Lempe, Desa Wae Sano.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok masyarakat sipil yang terdiri atas Sunspirit for Justice and Peace, Jaringan Advokasi Tambang, Wahana Lingkungan Hidup NTT, JPIC OFM Indonesia, JPIC SVD Ruteng, Ekspedisi Indonesia Baru, dan jaringan publik yang selama ini turut serta mendampingi warga Wae Sano menyatakan duka cita yang mendalam atas kepergian Bapak Frans.
“Selamat jalan Bapak Frans, semoga amal dan ibadahmu diterima oleh Tuhan dan teladan perjuanganmu membuahkan hasil hari ini dan di masa datang. Rest in Peace, Rest in Freedom!,” kata mereka.