BerandaKesemrawutan Tata Kelola TN KomodoKLHK Gagalkan Upaya Pemprov...

KLHK Gagalkan Upaya Pemprov NTT dan PT Flobamor Memonopoli Bisnis di TN Komodo

Dalam surat kepada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar menyatakan langkah Pemerintah Provinsi NTT yang hendak menyerahkan urusan bisnis dan konservasi di TN Komodo kepada PT Flobamor bertentangan dengan undang-undang.

Floresa.co – Setelah selama sekitar enam bulan diprotes publik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] akhirnya menggagalkan kebijakan Pemerintah Provinsi NTT yang selama ini dianggap elemen sipil dan pelaku wisata berupaya memonopoli bisnis pariwisata di Taman Nasional [TN] Komodo dengan memberikan kewenangan yang luas kepada PT Flobamor, termasuk menaikkan secara drastis biaya akses masuk ke kawasan itu.

Teguran itu tercantum dalam surat resmi dari Menteri Siti Nurbaya Bakar yang salinannya diperoleh Floresa.co.

Surat itu menyatakan isi Peraturan Gubernur NTT Nomor 85 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Konservasi di TN Komodo sebagai dasar pemberian wewenang kepada PT Flobamor bertentangan dengan undang-undang.

Surat itu juga menunjukkan kesalahan pemahamanan Pemprov NTT atas Nota Kesepahaman  [Memorandum of Understanding, MoU] dan Perjanjian Kerja Sama [PKS] dengan KLHK.

Menteri Siti menyatakan MoU antara Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem [KSDAE] dan Pemprov NTT Nomor PKS.9/KSDAE/PIKA/KSA.0/11/2021 dan Nomor PEM.415.4.43/II/69/XI/2021 dan PKS antara Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] dengan PT Flobamor Nomor PKS.1/T.17/TU/REN/2/2022 dan Nomor 01/FLB-PKS/II/2022 “bukan merupakan bentuk pelimpahan wewenang pengelolaan kawasan” TN Komodo kepada Pemerintah Provinsi NTT.

MoU dan PKS itu, katanya, “bertujuan untuk penguatan fungsi kawasan konservasi” yang pelaksanaannya harus berpedoman pada undang-undang.

Surat itu tertanggal 28 Oktober  2022, namun baru beredar luas ke publik pada 17 November 2022.

Informasi yang diperoleh Floresa.co, surat itu terbit setelah Kementerian Dalam Negeri melakukan pembahasan terhadap isi Pergub itu, yang melibatkan KLHK, Pemprov NTT, dan PT Flobamor.

Dalam suratnya, Menteri Siti meminta Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, rekannya sesama anggota Partai Nasional Demokrat, untuk mengkaji ulang Pergub itu, khususnya pada bagian “menimbang” huruf b, pasal 7 ayat 1, pasal 8 ayat 1, ayat 3 dan ayat 4, pasal 9 dan pasal 10 ayat 1.

Surat itu muncul di tengah kontroversi yang terus berlanjut terhadap kebijakan Pemprov NTT yang menaikkan tarif masuk TN Komodo dan dikelola oleh PT Flobamor beserta para mitranya.

Dalam kebijakan itu, PT Flobamor menaikkan tarif masuk menjadi 3,75 juta atau 15 juta dalam sistem keanggotaan kolektif (membership) untuk empat orang per tahun, dari yang selama ini berlaku 150 ribu rupiah. 

Kebijakan baru ini, yang diklaim untuk tujuan konservasi, diterapkan khusus untuk Pulau Komodo, Pulau Padar, dan perairan sekitarnya dengan luas 712,12 hektar yang berada di wilayah kendali perusahan milik provinsi tersebut.

Para pengunjung kedua pulau itu harus membeli tiket lewat aplikasi digital bernama INISA, sebuah platform digital yang menyediakan berbagai layanan publik yang didukung pemerintah Provinsi NTT dan Bank NTT.

Kebijakan itu sebenarnya diterapkan pada 1 Agustus 2022, namun karena protes yang luas, ditunda ke 1 Januari 2023.

Enam Halaman Lampiran

Surat Menteri LHK itu disertai enam halaman lampiran yang secara rinci memberi telaah atas Pergub yang terbit pada 25 Juli 2022 itu.

Dalam salah satu poin lampiran itu, KLHK memberi catatan bahwa Pergub itu hanya “untuk penguatan fungsi kawasan konservasi” dan tidak diperbolehkan pelimpahan wewenang “kecuali melalui penguatan fungsi kelembagaan melalui mekanisme kerja sama dengan tujuan peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan.”

Poin ini mengoreksi isi Pergub bagian menimbang yang menyatakan bahwa Pemprov NTT “diikutsertakan dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di TN Komodo,” khususnya di wilayah 712,12 hektar.

Poin lainnya yang disoroti  adalah penguasaan lahan seluas 712,12 oleh PT Flobamor, yang menurut KLHK bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya pada Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan.

KLHK juga menyatakan penunjukan PT Flobamor “sebagai pelaksana penyelenggaraan konservasi perlu dikaji mendalam terkait dengan etika hukum mengenai penunjukan entitas perusahaan.”

“Hal ini perlu dengan saksama dikaji karena pemanfaatan ruang investasi pada Zona Pemanfaatan Taman Nasional dapat dimohonkan oleh seluruh pihak dan tidak diperkenankan untuk hanya diberikan pada satu pemohon/entitas tunggal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata KLHK.

Selain itu, KLHK juga menyoroti keputusan pungutan kontribusi wajib bagi wisatawan dalam sistem keanggotaan kolektif (membership) per tahun melalui aplikasi INISA.

Menurut KLHK, hal itu tidak beralasan sebab besaran pungutan bagi wisatawan hanya mengacu pada PP No 12 Tahun 2014 Tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak [PNBP].

“Pada Peraturan Pemerintah tersebut, tidak ada pasal atau butir ayat yang mengatur bahwa wisatawan wajib memberikan kontribusi finansial selain dengan membayar besaran yang ditetapkan dalam peraturan dimaksud,” demikian menurut KLHK.

KLHK juga menyatakan tidak terdapat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri LHK yang mewajibkan wisatawan untuk bergabung dalam sistem keanggotaan kolektif maupun perorangan untuk bisa mengakses sumber daya alam dalam ranah wilayah Kawasan Pelestarian Alam [KPA] seperti TN Komodo.

Selain itu, KLHK  menyatakan, pasal yang menyebutkan bahwa “wisatawan yang belum memberikan kontribusi tidak diperkenankan untuk melakukan kunjungan wisata” ke wilayah yang dikuasai PT Flobamor “sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena publik (wisatawan) memiliki kebebasan memanfaatkan/mengakses wilayah KPA selama membayar karcis PNBP sah sesuai  PP 12 Tahun 2014.”

“Tidak terdapat satu pun produk hukum yang mewajibkan publik memberikan kontribusi, terlebih melarang publik mengakses/memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan rekreasi alam jika tidak memberikan/mengikuti anjuran kontribusi seperti yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur dimaksud,” kata KLHK.

KLHK juga menyatakan pengawasan penyelenggaraan konservasi dan ekosistemnya oleh PT Flobamor “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” meningkatkan fungsi itu pada KLHK dan BTNK.

Respons atas Protes Publik

Surat Menteri LHK ini muncul setelah sebelumnya dalam dua kali kesempatan Rapat Dengar Pendapat di Komisi IV DPR, KLHK menyatakan akan mengevaluasi kerja samanya dengan Pemprov NTT sebagaimana tertuang dalam Pergub itu.

Pernyataannya merespons kritik dari anggota dewan yang mengangkat keresahan publik  terhadap kebijakan Pemprov NTT.  Selain dianggap sebagai bentuk monopoli bisnis, Pemprov NTT juga dikritik karena PT Flobamor yang tidak memiliki rekam jejak di bidang konservasi pariwisata.

Dalam rapat pada  5 September 2022, Menteri Siti menyatakan akan mempelajari kembali dan mengevaluasi kerja sama itu. Sebelumnya dalam rapat pada 22 Agustus, Sekjen KLHK sekaligus Plt Dirjen KSDAE, Bambang Hendroyono menyampaikan hal serupa.

Ia  menyatakan bahwa  kewenangan mengurus konservasi serta PNBP di dalam kawasan Taman Nasional di seluruh Indonesia tetap berada pada tangan KLHK, sesuai  yang tertera pada UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Gelombang protes publik terhadap kebijakan Pemprov NTT ini telah muncul sejak pertama kali diperkenalkan.

Di Labuan Bajo, masyarakat sipil dan pelaku wisata beberapa kali melakukan aksi damai menyoroti buruknya koordinasi antarlembaga, baik di pemerintahan pusat maupun daerah, dalam tata kelola konservasi dan pariwisata di TN Komodo dan menolak monopoli PT Flobamor dan para mitranya.

Pada 18 Juli, ribuan orang yang terdiri dari pelaku pariwisata, pegiat konservasi, masyarakat Komodo, serta berbagai elemen masyarakat sipil melakukan aksi massa di berbagai instansi pemerintah di Labuan Bajo, menentang kebijakan itu.

Aksi lainnya terjadi pada 29 Juli, di mana massa menuntut pembatalan launching aplikasi INISA di Hotel Local Collection Labuan Bajo.

Pada  1 Agustus 2022, hari pertama kebijakan tersebut hendak diberlakukan, asosiasi pelaku wisata Labuan Bajo mengadakan aksi mogok massal.

Aksi itu direspons dengan tindakan represif oleh aparat keamanan, yang diterjunkan secara massif oleh pemerintah dengan pasukan tambahan dari Polda NTT. Sejumlah tempat strategis di kota itu dijaga oleh 1.000 aparat.

Aparat keamanan siaga di Labuan Bajo pada Senin 1 Agustus 2022 di tengah aksi mogok pegiat pariwisata untuk memprotes kebijakan kenaikan harga tiket ke Taman Nasional Komodo. (Foto: Ist)

Puluhan pelaku wisata ditangkap saat melakukan aksi damai, enam luka-luka dan satu orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka baru dibebaskan dari tahanan setelah diduga dipaksa menandatangani pernyataan untuk menghentikan aksi mogok.

Masyarakat Komodo juga memprotes pemberian konsesi bisnis kepada PT Flobamor yang menggerus wilayah tangkapan tradisional nelayan.

Seorang pelaku wisata di Labuan Bajo yang meminta Floresa.co tidak menyebut namanya mengatakan, Pergub itu adalah “upaya Gubernur NTT merampok dan menguasai aset negara di TN Komodo dan memonopoli bisnis dan ekonomi Labuan Bajo.”

“Jadi, memang sengaja didesain utk motif dan tujuan kepentingan bisnis oknum tertentu,” katanya.

Ia mengatakan, pada prinsipnya mereka salut dan mengapresiasi surat Menteri LHK karena “kenaikan tiket atau tarif masuk ke TNK oleh PT Flobamor itu bencana besar” untuk pariwisata Labuan Bajo.

“Hanya saja kami ini masih takut bersuara dan bergerak ke jalan karena masih trauma dengan kejadian Agustus,” katanya, menyinggung tindakan represif aparat keamanan saat mereka mengadakan aksi mogok massal.

Venansius Haryanto dari Sunspirit for Justice and Peace mengatakan, langkah KLHK yang membatalkan kebijakan monopoli bisnis di TN Komodo ini mengafirmasi pentingnya suara publik untuk mengontrol tata kelola kawasan bisnis pariwisata bernilai tinggi itu agar tidak sembarangan, tetapi betul-betul mengedepankan prinsip berkeadilan.

“Bayangkan jika tidak ada protes-protes publik, maka kebijakan serampangan dari Pemprov NTT dan PT Flobamor itu bisa saja mulai berlaku pada 1 Agustus, kendati itu tidak memiliki pijakan yang kuat dan jelas-jelas melawan undang-undang,” katanya kepada Floresa.co.

Ia menjelaskan, surat dari Menteri LHK itu makin memperlihatkan kebijakan pemerintah yang amburadul dalam tata kelola pariwisata di TN Komodo.

“Penting untuk dicatat bahwa dengan kebijakan yang dipaksakan ini terjadi pelanggaran serius terhadap hak-hak konstitusional warga, baik para pelaku wisata lokal maupun wisatawan yang hendak dikendalikan oleh pemerintah provinsi lewat PT Flobamor,” katanya.

Apa Tanggapan PT Flobamor?

Dengan bermodalkan MoU dan PKS dengan Ditjen KSDAE dan BTNK, selama ini PT Flobamor sebenarnya sudah mulai melakukan berbagai aktivitas.

Selain peluncuran aplikasi INISA, perusahaan ini juga sudah merekrut sejumlah pemuda di Pulau Komodo.

Pada 29 September, PT Flobamor melakukan pelatihan untuk naturalist guide atau ranger di Pulau Padar bagian utara, dengan menggandeng pelatih dari Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC), kawasan yang dikelola perusahaan yang berafiliasi dengan grup bisnis milik pengusaha Tomy Winata, sosok yang dikenal memiliki kedekatan personal dan bisnis dengan Gubernur Laiskodat.

Pemuda asal Kampung Komodo mengikuti pelatihan yang diadakan oleh PT Flobamor pada Kamis, 29 September 2022. (Foto: Ist)

Floresa.co sudah berupaya meminta tanggapan dari PT Flobamor terkait surat Menteri LHK. Namun, permohonan wawancara tidak direspons. Yanto Koremega, salah satu staf PT Flobamor tidak menanggapi pesan yang dikirim Floresa.co melalui WhatsApp meskipun sudah ia baca. Ia juga tidak merespons permintaan untuk membagikan nomor telepon Abner Runpah Ataupah, Direktur Operasional PT Flobamor, yang selama ini sering menyampaikan pernyataan lewat sejumlah media di Labuan Bajo.

Dalam pernyataannya yang dipublikasi di Medialabuanbajo.com pada 18 September, Ataupah mengklaim bahwa surat Menteri LHK tidak mempengaruhi langkah mereka.

Ia menjelaskan, Pergub tersebut akan ditinjau kembali oleh Pemprov NTT dan jika tidak diperlukan maka bisa saja dicabut.

“[Itu] tidak mempengaruhi kerja sama antara BTNK dan Flobamor,” katanya.

Ia menjelaskan, kontribusi konservasi merupakan hasil PKS antara BTNK dan PT Flobamor yang didasari oleh MoU antara Gubernur dan Dirjen KSDAE, dan dalam PKS tersebut tercantum kewajiban-kewajiban PT Flobamor dan BTNK sehingga kerja sama tetap berjalan sebagaimana yang tertuang dalam PKS itu.

Ia pun menyatakan, kebijakan kenaikan tarif masuk akan tetap mulai berlaku pada “1 Januari 2023.”

Arman Suparman dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah [KPPO], lembaga yang melakukan riset dan kajian tentang berbagai kebijakan publik memberi catatan pada klaim PT Flobamor ini.

Ia menyatakan, kunci dari surat Menteri LHK adalah pada poin yang menyatakan bahwa MoU antara Ditjen KSDAE dan Pemprov NTT tidak bisa dijadikan dasar bagi pemerintah provinsi untuk mengatur urusan yang bukan menjadi kewenangannya.

“Artinya, jika ada PKS antara BTNK dan PT Flobamora, PKS itu melanggar aspek prinsip pembagian urusan konkuren,” katanya kepada Floresa.co.

Lebih dari itu, jelasnya, saat ini Pergub ini sedang dikaji ulang dan itu berarti “dalam proses ini, seluruh ketentuan di dalamnya tidak bisa diimplementasikan sampai ada kebijakan baru.”

KPPOD telah membuat kajian secara utuh terhadap isi Pergub itu dan menyebutnya cacat, baik dari segi legal-yuridis, substansi, maupun prinsip dan karena itu memang harus dibatalkan.

Lembaga itu menyebut Pergub tersebut  “tidak up to date terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan terbaru seperti UU No. 13/2022 tentang Perubahan Kedua UU 12/2011 dan UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.”

Pemprov NTT, demikian menurut KPPOD, juga terbukti melanggar aturan dalam hal kewenangan pusat dan daerah, penyelenggaraan konservasi, pungutan biaya kontribusi, dan fungsi pengawasan PT Flobamor.

Hal lain yang disoroti adalah pelanggaran asas persaingan bebas pelaku usaha, pemberian wewenang kepada badan usaha milik daerah yang tidak berkompeten, tidak inklusif pada kepentingan publik, serta melanggar tata cara penyusunan dan penetapan peraturan kepala daerah karena tidak melalui proses executive review dari Kementerian Dalam Negeri.

Butuh Tindak Lanjut

Meski mengapresiasi surat Menteri LHK itu, namun, bagi pelaku wisata di Labuan Bajo, hal itu tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Leo Embo, salah satu pelaku wisata di Labuan Bajo mengatakan, pariwisata di Labuan Bajo terlanjur dianggap mahal akibat tersiarnya kabar kenaikan tarif menjadi 3,75 juta yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023, yang membuat banyak wisatawan membatalkan rencana kunjungan mereka.

Ia berharap pemerintah segera memberikan solusi nyata yang bisa menjawab persoalan yang dialami para pelaku wisata, terutama terkait gembar-gembor rencana penerapan kebijakan kenaikan tarif masuk ini.

“Jangan biarkan calon wisatawan menunggu dalam ketidakpastian yang berdampak pada menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo pada momen pergantian tahun,” katanya.

Ia menyatakan, mereka menunggu aksi nyata, termasuk dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif [Kemenparekraf] yang sebelumnya ikut mengumumkan rencana pemberlakuan tarif baru ini pada 1 Januari 2023.

“Kami tunggu aksi nyata dari Kemenparekraf,” katanya.

Hal senada disampaikan oleh salah seorang dive operator di Labuan Bajo. 

Ia mengatakan, karena masalah kebijakan baru itu, sejauh ini tidak ada bookingan dari tamu untuk tahun 2023. 

“Orang takut untuk booking karena mereka berasumsi Rp 3.750.000 adalah harga tiket,” katanya.

“Kami menunggu Pergub tersebut dikaji ulang secepatnya dan disebarkan ke masyarakat secara jelas supaya calon wisatawan tidak takut untuk merencanakan liburannya ke Labuan Bajo.”

Venan Haryanto dari Sunspirit for Justice and Peace menambahkan, hal yang tidak kalah penting dari cerita tentang setumpuk regulasi yang dilabrak sana-sini ini melalui Pergub itu adalah suara publik selama ini.

“Suara-suara itu adalah peringatan keras untuk sebuah model pengambilan kebijakan pembangunan yang abal-abal, yang meniadakan partisipasi publik,” katanya.

“Publik sungguh tahu dan sadar bahwa pasca reformasi 1998 kita sudah hidup dalam era demokratisasi. Jadi kebijakan tidak bisa dibuat sesuka hati untuk kepentingan kelompok sendiri.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga