Pemkab Manggarai Timur Menang dalam Sengketa Tanah Puskesmas Borong, Ahli Waris Ajukan Banding

Ahli waris mempersoalkan putusan hakim yang dinilai janggal

Baca Juga

Floresa.co – Warga di Manggarai Timur yang menjadi ahli waris lahan sengketa mengajukan banding terhadap putusan pengadilan yang memenangkan pemerintah.

Kelima ahli waris Alex Tundur sebagai penggugat konvensi, masing-masing Katarina Tundur, Agustinus Tundur, Vincentius Tundur, Beneria Sardina Tundur, dan Marsel Tundur menyatakan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Ruteng nomor 22/PDT.G/2023/PN.Rtg 

Putusan perkara perdata terkait lahan Puskesmas Borong itu antara ahli waris Alex Tundur dengan Pemerintah Kabupaten [Pemkab] Manggarai Timur diumumkan di situs Mahkamah Agung pada 4 Maret.

Dalam amar putusannya, Pengadilan Negeri Ruteng menyatakan lahan tersebut adalah sah milik Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Pengadilan menyatakan penyerahan lahan itu kepada pemerintah mengacu pada kesepakatan lisan antara mantan Bupati Manggarai, Frans Sales Lega dan Alex Tundur pada 1968.

Selain itu, menurut pengadilan, bukti lainnya adalah Surat Penyerahan Hak Alas Tanah pada 27 Februari 1993 antara mantan Bupati Manggarai Gaspar Parang Ehok dan ahli waris Alex yaitu Sedia Tundur, Geradus Tundur, dan Agustinus Tundur.

Kedua bukti itu, kata pengadilan adalah ”sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan tanah objek sengketa.”

Dengan demikian, menurut putusan itu, tanah objek sengketa yang terletak di Wae Reca, Jalan Jurusan Ruteng-Ende, RT 003/RW 002, Kelurahan Rana Loba  adalah “Barang Milik Daerah Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur yang dikelola oleh Bupati Manggarai Timur c.q. Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Timur.”

Dalam pernyataan pada 10 Maret, Fransiskus Ramli Boy Koyu, Ketua Tim Kuasa Hukum Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur menyatakan, putusan itu “sudah sangat tepat dan benar.”

Ia mempersoalkan klaim ahli waris dalam gugatannya yang menilai penguasaan tanah tersebut oleh pemerintah seolah-olah “sama sekali tidak berdasar atau tanpa alas hak yang sah.”

“Tidak benar semua itu. Pada fase pembuktian telah kami buktikan sebaliknya bahwa penguasaan tanah Puskesmas Borong oleh Pemkab Manggarai dan Pemkab Manggarai Timur adalah berdasar atau dengan alas hak yang sah,” katanya.

Dinilai Janggal dan Cacat Hukum

Sementara itu Muhamad Haiban, salah satu kuasa hukum ahli waris yang berbicara kepada Floresa pada pada 13 Maret mengatakan putusan hakim sangat kontradiktif dan janggal. 

Klaimnya merujuk pada putusan hakim bahwa tanah Puskesmas Borong adalah milik Alex dari tahun 1964 sampai 1968 ketika terjadi perjanjian lisan dengan Frans Sales Lega, Bupati Manggarai, yang kemudian dieksekusi pada 1993 dengan “adanya surat imbalan jasa senilai Rp8 juta.” 

Padahal, kata dia, dalam notulensi rapat tentang permohonan imbalan jasa terhadap tanah itu tertanggal 29 Agustus 1992, yang salinannya juga diperoleh Floresa, disebutkan bahwa dalam perjanjian lisan dengan Alex, Frans Sales Lega berjanji akan memberikan “imbalan berupa tanah sawah di Rana Loba seluas tanah yang diserahkan yakni kurang lebih 10.605 meter persegi.”

Lantaran janji tersebut belum direalisasi, kata dia, maka Geradus Tundur mengajukan permohonan imbalan jasa terhadap tanah warisan yang telah digunakan sebagai “tanah Puskesmas Borong.”

Geradus, sebagaimana yang tercantum dalam catatan itu, memohon imbalan jasa sebesar Rp10 juta, namun Pemerintah Kabupaten Manggarai hanya menawarkan Rp5 juta.

Kedua belah pihak pada akhirnya bersepakat bahwa imbalan jasa hanya senilai Rp8 juta. 

Dalam catatan itu, kata Haiban, juga disebutkan “penyerahan tanah ini tidak bersifat jual beli.”

“Jadi, uang Rp8 juta itu bukan merupakan transaksi jual beli,” katanya.

Karena itu, jelasnya, “masih abu-abu,  imbalan jasa yang dimaksud seperti apa.”

Ia mengatakan, dalam persidangan, saksi Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur juga tidak mampu menerangkan “apa yang dimaksud dengan imbalan jasa itu.” 

Saksi yang dihadirkan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dalam persidangan berjumlah tujuh orang, termasuk mantan Camat Borong, Ambros Dandur, dan mantan Kepala Badan Pemerintahan Umum Kabupaten Manggarai, Fransiskus Nahas.

Ambros dinilai dapat memberikan penjelasan tentang surat imbalan jasa itu, sementara Fransiskus merupakan pemimpin rapat dan ikut menandatangani surat permohonan imbalan jasa.

“Dalam keterangan di persidangan, mereka  mengatakan hanya mengikuti perintah [menandatangani surat]. Mereka juga tidak tahu isi suratnya. Itu fakta di persidangan. Saksi bahkan tidak tahu semua ahli waris Alex Tundur,” kata Haiban. 

Ia berkata imbalan jasa semacam “apresiasi pemerintah kepada ahli waris karena sudah menggunakan tanah itu bertahun-tahun.” 

Putusan hakim, kata dia, juga kontradiktif dan janggal karena berbasis pada surat imbalan jasa yang hanya ditandatangani oleh Geradus Tundur dan Agustinus Tundur.

Sementara ahli waris lainnya, kata dia, “tidak terlibat dan tidak tahu tentang kesepakatan itu.”

“Dalam asas perdata, sudah jelas apabila melakukan suatu perjanjian harus diketahui oleh seluruh ahli waris,” katanya.

“Ketika diwakili oleh satu ahli waris, maka ahli waris yang diketahui wajib memiliki surat kuasa dari ahli waris lainnya.”

Ia mengatakan merujuk pada putusan hakim, Geradus Tundur bukan merupakan ahli waris yang sah dari Alex karena ia adalah kakak tiri dari para ahli waris, yaitu anak dari istri pertama Alex.

“Makanya kami sebagai kuasa hukum keluarga dan keluarga juga sudah bersepakat melakukan upaya hukum lagi, yaitu banding,” katanya.

“Kami mau bedah lagi surat itu karena menurut kami dari sisi posisi hukum, surat [imbalan jasa] itu cacat hukum,” ungkapnya.

Marsel Tundur, salah satu ahli waris yang berbicara kepada Floresa pada 15 Maret mengaku ia dan ahli waris lainnya “tidak tahu” tentang permohonan imbalan jasa yang disampaikan Geradus dan Agustinus.

Ahli waris yang lain, kata dia, juga tidak pernah memberi kuasa kepada Geradus untuk memohon imbalan jasa.

“Bahkan Agustinus yang turut menandatangani surat imbalan jasa itu sebenarnya tidak paham dan tidak tahu dengan isi surat itu. Agustinus pergi ke Ruteng karena diajak oleh Geradus. Ia diminta menandatangani surat itu tapi tidak tahu isinya apa,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti pernyataan mantan Camat Borong, Ambros Dandur dalam persidangan yang menyebutkan bahwa “jika dokumen perjanjian hanya ditandatangani oleh sebagian ahli waris, maka perjanjian itu tidak sah.”

“Surat perjanjian itu hanya ditandatangani dua orang dan hanya Agustinus yang merupakan ahli waris. Dari pernyataan Ambros, jelas bahwa surat imbalan jasa itu tidak sah,” katanya.

Marsel juga mengatakan jika memang uang imbalan jasa senilai Rp8 juta itu diyakini sebagai bukti penyerahan tanah oleh ahli waris kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai, “mengapa mereka masih menyinggung soal tanah sawah di Rana Loba?”

Hal ini, kata dia, berarti uang imbalan jasa itu tidak membatalkan perjanjian tukar guling tanah antara Alex dan Frans Sales Lega.

“Kami hanya menuntut hak kami yaitu tanah pengganti Puskesmas Borong. Pemerintah bilang tanah pengganti ada di Rana Loba, tapi sampai sekarang kami tidak tahu persis letak tanah itu. Seandainya kami tahu, pasti sudah dari dulu kami menggarapnya,” ungkapnya.

Marsel juga mengaku ia dan ahli waris lainnya tidak tahu tentang surat pelepasan tanah seluas kurang lebih 10.605 meter persegi yang diminta pemerintah kepada Geradus. 

Jika Geradus memang pernah membuat surat itu, maka “kami pasti mendapat salinannya,” katanya.

“Kenyataannya kami tidak pernah melihat surat itu. Sampai saat ini, kami tidak tahu di mana suratnya.”

Diakui BPK Sebagai Lahan Sengketa

Status lahan ini sempat menjadi sorotan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan [BPK].

Dalam laporan nomor 57.B//XIX/KUP/05/2022 tertanggal 17 Mei 2022 atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur tahun anggaran 2021 yang salinannya diperoleh Floresa, BPK menyebutkan bahwa “tanah Puskesmas Borong merupakan aset yang masih dalam sengketa.”

Menindaklanjuti temuan itu, pada 14 Juli 2022, Boni Hasudungan, mantan Sekretaris Daerah – kini jadi Penjabat Bupati Manggarai Timur – memohon agar Kepala Dinas Pertanahan “segera menindaklanjuti temuan tersebut dan berkoordinasi dengan Pengguna Barang pada Perangkat Daerah terkait.”

“Laporan hasil tindak lanjut disampaikan kepada Sekretaris Daerah selaku Pengelola Barang Milik Daerah cq. Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Manggarai Timur selaku Pejabat Penatausahaan Barang,” demikian isi surat Boni.

Dalam kartu inventaris barang yang ditandatangani Boni, disebutkan bahwa tanah Puskesmas Borong diperoleh pada 1990 dengan harga perolehan sebesar Rp53.030.000.  

Marsel Tundur berkata, temuan BPK ini membuat Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur belum bisa menerbitkan sertifikat atas tanah Puskesmas Borong.

“Selain itu, mereka juga kesulitan karena tidak ada dokumen hibah tentang tanah itu,” kata Marsel.

Karena status tanah yang masih bermasalah ini, kata dia, mereka akan terus memperjuangkannya agar hak mereka sebagai ahli waris dihargai.

Ia menyatakan telah mendaftarkan banding pada 13 Maret dan kini sedang melengkapi berkas gugatan.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini