Kisah yang Tercecer

Baca Juga

Kerena, darinya kutemukan arti ketulusan yang pernah kuberikan untukmu dahulu.

Aku tahu engkau masih mengingat semua kenangan di antara kita. Semoga engkau membawa semuanya dalam jalan-Nya dan mendoakan kehidupan baruku.

Dalam diam kau termangu mendengar semua penuturanku seakan aku sedang meangakui semua dosaku padamu. Mengapa harus ada keheningan untuk diratapi? Dan mengapa harus diciptakan hati untuk merasakan semua ini? Sepotong senja di batas cakrawala kini memaku pandanganmu.

“Di akhir hari, selalu ada rindu yang luluh di sana, sejak dulu” katamu pilu. “Terlampau cepat waktu berderak hingga setiap momen tak sempat kau bekukan dalam hati, tapi tidak untuk ini, sebab selalu ada ruang buatmu di pojok hatiku dimana rindu itu telah kau kemas bersama serpihan kenangan yang terserak dan telah kusimpan rapi dalam buku hatiku.”

Mungkin inilah kata yang tepat untuk pertemuan ini sebab aku menemukanmu di atas waktu yang terus berganti.

Aku diam, kusapu pandanganku pada senja yang kian memudar lewati celah kedai kopi sederhana di pelataran Katedral ini.

Segelas teh hangat terus kau teguk, mungkin karena udara di kotaku ini terlampau dingin di senja ini.

“Begitu banyak garis batas yang sudah memuai seiring rindu yang  terbuai, dan ketika rindu itu terbenam bersama matahari senja, sekali lagi; setiap waktu di akhir hari tiba, aku kembali termangu dan diam bersama doa dan harap yang masih tertata rapi dalam buku itu”.

Di sudut lain kota dingin ini, aku masih terus berkisah tentangnya, menggoreskan tinta cinta pada kertas-kertas putih yang tak bersajak, memutar kembali kenangan-kenangan yang pernah tertoreh tentang kemesraan yang tersisa antara aku dan dia yang terlelap di sudut kota ketika gerimis mulai reda, ketika senja menyisakan lembayung, menyatukan semua rasa pada dinginnya yang mencekam.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini