Kisah yang Tercecer

Baca Juga

Kalau sang novelis ternama Paulo Coelho menulis “Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis” maka kali ini aku menulis dan mengisahkan, “Di Kedai Kopi Sederhana Di Pelataran Katedral Aku Duduk dan Mengenang Kembali Kisahku”.

Andaikan aku bisa memutar kembali waktu, mungkin kisah ini takkan ada. Dan jika ada sesuatu yang sangat berharga, maka itu adalah waktu. Waktu bersamanya. Dalam diam aku berharap semoga kelak akan ada perjumpaan lagi meski dalam waktu dan situasi yang sudah jauh berubah.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Aku telah belajar mengendalikan semua perasaanku sejak malam itu.

Mengalami luka dan keterpurukan bahkan mengasingkan diri dari keramaian, menganggap semua di sekitarku tak lebih daripada pisau yang siap melukai, karena bagiku perih itu sederhana bak tergores pecahan kaca.

Sekarang, aku menjalani kehidupan baru bersama orang yang bahkan lebih mencintaiku, yang mengajariku cara untuk belajar menerima apapun dalam segala situasi. Dan, dia tahu bagaiman cara membahagiakanku dalam kesederhanaan cinta, sedangkan dirimu adalah akan tetap selalu berjalan bersama cinta yang pernah kita miliki.

Kini aku menyadarinya bahwa egoku telah kupatahkan, namun cintaku akan selalu ada dalam setiap langkah panggilannya. Sebab, “cintanya tak dapat berpaling dari Dia tapi cintanya untukku tak dapat dipungkirinya”. Mencintainya berarti mencintai panggilannya juga.

Kota dingin, Medio Januari 2016

Hildegardis Y Pandur berprofesi sebagai guru, menetap di Ruteng, Manggarai – Flores

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini