Dua Kali Dipanggil Kejaksaan karena Proyek Lapen Mangkrak, Kepala Desa di Manggarai Timur Terus Umbar Janji Lanjutkan Pengerjaan 

Proyek lapen itu ditinggalkan kontraktor, hanya 400 meter yang dikerjakan dari seharusnya satu kilometer

Floresa.co – Perangkat desa di Manggarai Timur pernah dua kali dimintai klarifikasi terkait proyek lapen yang mangkrak selama empat tahun, kata kejaksaan.

“Pada awal tahun ini, kami sudah dua kali memanggil kepala, sekretaris, dan bendahara desa. Namun, bendahara desa tidak pernah memenuhi panggilan itu,” kata Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Manggarai di Reo, Riko Budiman kepada Floresa pada 1 Juli.

Riko berkata panggilan itu berkaitan dengan proyek lapen Wae Paci-Wae Lawas di Desa Golo Mangung, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur yang dibangun pada 2020.

Proyek yang bersumber dari dana desa tahun anggaran 2020 dan sisa lebih anggaran pembiayaan tahun 2019 itu, kata dia, “tidak dilanjutkan dan kontraktornya lari.”

“Saya lupa jumlah anggarannya karena belum lihat lagi dokumennya. Tapi kalau jumlah dana Silpa kurang lebih Rp700 juta,” ungkapnya.

Riko mengaku mengetahui mangkraknya proyek itu dari pemberitaan media sehingga “kami langsung memanggil kepala, sekretaris dan bendahara desa untuk memberikan klarifikasi.”

Untuk penanganan lebih lanjut, kata dia, pihaknya masih menunggu konfirmasi dari Inspektorat Manggarai Timur.

Ia berkata, biasanya kalau ada laporan seperti itu, Inspektorat akan memanggil kepala desa dan perangkatnya untuk memberi klarifikasi terkait “kerugian negara atau kesalahan administrasi” dalam proyek itu.

Jika ditemukan kerugian negara, kata dia, maka Inspektorat akan memberikan waktu selama 60 hari kepada kepala desa dan perangkatnya untuk mengembalikan uang itu.

“Jika mereka tidak bisa mengembalikan uang itu, maka Inspektorat akan turun ke lokasi dan meninjau proyek itu. Selanjutnya, Inspektorat meminta kejaksaan mengaudit kerugian negara,” katanya.

“Kalau hanya kesalahan administrasi, maka urusan itu akan diselesaikan secara internal antara Inspektorat dan pemerintah desa,” tambahnya.

Kepala Cabang Kejaksaan Manggarai di Reo, Riko Budiman. (Dokumentasi Fokusntt.com)

Berulang Kali Umbar Janji

Pengakuan Riko merespons laporan yang dirilis Floresa pada 28 Juni yang di dalamnya juga memuat pengakuan Kepala Desa Golo Mangung,  Engelbertus Anam saat didatangi beberapa warga minggu lalu untuk menanyakan kejelasan proyek lapen itu.

Hardianus Purnama, seorang warga Wae Lawas yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan alih-alih menjelaskan alasan di balik mangkraknya proyek itu, Engelbertus hanya mengaku “sudah dua kali dipanggil kejaksaan.” 

“Kepala desa berkata bahwa kalau nanti dipanggil untuk ketiga kalinya, dia langsung dipenjara. Kepala desa juga berkata bahwa semua uang pembangunan lapen itu sudah dikasih ke kontraktor,” kata Hardianus. 

Hardianus mengatakan bertahun-tahun warga di kampungnya mengimpikan mendapatkan “kue pembangunan” yaitu jalan raya yang masih berstruktur tanah dan telford ditingkatkan menjadi lapen. 

Namun, kata dia, mimpi itu hanya “pepesan kosong” karena pemerintah desa “berpaling muka.”

Ia berkata, pemerintah desa memang telah menganggarkan dana peningkatan jalan Wae Paci-Wae Lawas menjadi lapen. 

Akan tetapi, kata dia, hingga saat ini, proyek itu belum tuntas, sementara “kerikil berserakan dan sisa-sisa aspal tak dirawat dengan baik.”

“Warga Wae Lawas pun merasa geram dengan tingkah laku pemerintah desa. Karena itu, pada 24 Juni, saya dan utusan orang tua mendatangi kantor desa menemui kepala desa,” katanya kepada Floresa pada 1 Juli. 

Hardianus mengatakan dalam pertemuan itu, Engelbertus berjanji “akan melanjutkan pengerjaan lapen tersebut dan akan memanggil kontraktor pelaksana.”

Namun, kata dia, tidak terlihat tanda-tanda pekerjaan itu akan dilanjutkan karena “tidak ada pengangkutan material baik kerikil maupun aspal.”

“Apakah warga Wae Lawas kena prank [tipu] lagi dari pemerintah desa? Ke mana sebenarnya aliran uang pembangunan tersebut? Apakah masuk ke kantong pribadi? Seperti apa pertanggungjawabannya?” katanya.

“Namun, soal tudingan ini hanya bisa dibuktikan di pengadilan. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan merupakan ranah aparat penegak hukum,” katanya.

Hardianus berharap kepolisian atau kejaksaan profesional mengusut persoalan ini karena “warga sangat menderita dengan ketiadaan akses jalan yang memadai.” 

Pengelolaan uang negara tanpa asas manfaat, kata dia, “harus menjadi atensi aparat penegak hukum.”

“Mungkin saja warga tak tahu jumlah kerugian negara. Namun, paling tidak warga bisa menunjukan fakta bahwa lapen itu belum dikerjakan secara tuntas. Artinya, ada uang yang tersisa,” katanya.

Hardianus mengatakan selama ini Engelbertus memang selalu berjanji akan melanjutkan proyek tersebut.

Namun, kata dia, hal itu “tidak lebih dari upaya untuk berkelit” supaya warga senang karena “janji yang sama selalu berulang.”

Floresa meminta tanggapan Engelbertus Anam melalui WhatsApp pada 2 Juli. Namun, ia tak meresponsnya, kendati pesan itu bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Tidak Transparan

Hardianus mengaku tidak tahu jumlah dana dan kontraktor yang mengerjakan proyek itu karena “tidak ada papan informasi.”

Ia juga mengaku pernah meminta Rencana Anggaran Biaya proyek itu kepada anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD].

Namun, kata dia, anggota BPD itu enggan memberitahunya.

Ia berkata proyek itu bervolume satu kilometer, tetapi “yang baru dikerjakan hanya sekitar 400 meter.” 

Pengerjaan lapen itu belum mencapai Wae Emas, sungai selebar delapan meter yang menghubungkan Kampung Wae Paci dan Wae Lawas, katanya.

“Kepala desa pernah bilang proyek itu belum bisa dilanjutkan karena sebagian besar dana desa dialokasikan untuk penanganan Covid-19,” katanya.

Hardianus mengatakan peningkatan jalan merupakan kebutuhan paling mendesak bagi warga di kampungnya.

Sebagian besar warga di kampungnya, berprofesi sebagai petani dengan hasil panen utamanya adalah kemiri dan jambu mete yang biasanya dijual ke Reo.

Ia berkata jika hendak ke Reo yang berjarak sekitar 30 kilometer, warga biasanya berjalan kaki sampai di Wae Paci, lalu menumpang mobil dengan ongkos pergi pulang sebesar Rp50 ribu.

“Kalau Sungai Wae Emas meluap, terpaksa kami lewat jembatan gantung yang terbuat dari bambu,” katanya.

“Di sungai itu memang ada jembatan, tapi kondisinya sudah rusak parah dan warga takut melintasinya,” tambahnya.

Editor: Ryan Dagur

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya