Kantor Staf Presiden dan PT Geo Dipa Energi Gelar Sosialisasi Lanjutan Proyek Geothermal, Warga Desa Wae Sano ‘Walk Out’

Aksi walk out ini merupakan lanjutan dari aksi protes serupa sebelumnya dari warga Wae Sano terhadap proyek geothermal di desa mereka, bagian dari Proyek Strategis Nasional.

Floresa.co – Warga di Desa Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat, NTT memilih meninggalkan ruangan (walk out) sebagai bentuk penolakan saat tim dari Kantor Staf Presiden dan PT Geo Dipa Energi kembali mendatangi desa mereka untuk melakukan sosialisasi lanjutan terkait proyek geothermal.

Sosialisasi itu berlangsung pada Selasa, 15 November 2022, melibatkan warga desa itu yang mencakup tiga kampung – Nunang, Lempe, dan Dasak.

Pantauan Floresa.co, saat mendatangi Kantor Desa Wae Sano, tempat sosialisasi, warga yang sebagian besar ibu-ibu tampak membawa spanduk, di antaranya berisi tulisan “Jangan Jadikan Kami Korban Investasi Wisata Premium”, “Bapa Pemerintah Kerja Untuk Siapa?”, dan “No Geothermal, Save Wae Sano #World Bank Don’t Kill Us.”

Spanduk lainnya bertuliskan “Kami Masyarakat Adat Nunang, Lempe, Dasak Menyatakan dengan Tegas Tolak Geothermal Wae Sano.”

Mereka sudah berkumpul di lokasi pada pukul 09.00 Wita sesuai isi surat undangan dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, namun sosialisasi baru dimulai pada pukul 10.15 karena tim yang terlambat tiba di lokasi.

Warga Desa Wae Sano membentangkan spanduk berisi pernyataan penolakan geothermal di desa mereka. (Foto: Anno Susabun/Floresa.co)

Perwakilan dari KSP adalah Yando Zakaria, sementara dari PT Geo Dipa Energi, Johnnedy Situmorang, koordinator operasional. Camat Sano Nggoang, Alfonsius Arfon juga hadir mewakili Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.

Sosialisasi tersebut juga menghadirkan anggota Tim Komite Bersama yang dibentuk tahun lalu hasil Nota Kesepahaman [MoU] antara Keuskupan Ruteng,  pemerintah dan perusahan untuk meloloskan proyek ini. Mereka adalah Itho Umar, Geri Minus serta Sil Harsidi yang bertindak sebagai moderator. Pastor Rekan Paroki Nunang, Romo Earlich Herbert dan Kepala Desa Wae Sano Mikael Pedo juga ikut hadir.

Sosialisasi ini adalah bagian dari negosiasi lanjutan atas perubahan prioritas titik pengeboran (wellpad) dari Wellpad B di Kampung Nunang yang berjarak 30 meter dengan rumah warga dan rumah adat Nunang ke Wellpad A di Kampung Lempe yang berjarak 150 meter dari pemukiman.

Camat Alfonsius dalam sambutannya mengatakan proyek geothermal Wae Sano melibatkan seluruh warga, sehingga disebut “pembangunan partisipatif di tengah komunitas masyarakat adat.”

“Apa yang kita bicarakan hari ini…bagaimana keterlibatan masyarakat dalam perjalanan proyek ini.  Dalam pembangunan ini ada pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat,” katanya.

Menurut Alfons, proyek ini akan terus diupayakan oleh pemerintah, meskipun Bank Dunia akan menarik dukungan dana atasnya karena tidak memenuhi prosedur standar bank tersebut.

Selain itu, kata dia, pemerintah dan perusahaan menyediakan mekanisme tertentu dalam menyukseskan pembangunan tersebut.

Ia antara lain menyebut pembentukan ‘Panitia Kampung’ yang akan menjadi letang temba, laro jaong atau penghubung antara masyarakat dengan pemerintah dan PT Geo Dipa.

Keluhan masyarakat, jelasnya, dilaporkan kepada panitia tersebut untuk dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Tahap terakhir dari mekanisme ini, kata Alfons, adalah penyelesaian melalui jalur hukum di pengadilan jika semua cara tidak bisa membuat proyek itu bisa dikerjakan.

“Saya hanya mau menyampaikan kepada kita bahwa negara ada di dalam seluruh rangkaian proses ini,” ungkapnya.

Usai Alfons berbicara dan mulai memberikan kesempatan kepada Yando Zakaria untuk menyampaikan materi sosialisasi, warga yang menolak proyek itu mulai mengajukan protes.

“Tidak. Kami tidak mau dengar tentang geothermal. Cabut geothermal itu!” teriak seorang ibu dari tengah barisan warga.

Yosef Erwin Rahmat, warga Kampung Nunang kemudian mengajukan interupsi dan mengatakan masyarakat sudah secara tegas menyatakan penolakan terhadap proyek geothermal Wae Sano, di manapun titik pengeboran akan difokuskan.

Kegiatan sosialisasi tersebut, kata Yosef, adalah bagian dari upaya pemerintah dan perusahaan untuk membohongi warga bahwa titik pengeboran akan dipindahkan semakin jauh dari pemukiman.

Titik pengeboran tersebut, kata dia, faktanya terletak sangat dekat dengan kampung dan mata air.

“Masih percayakah pemerintah, masih percayakah Bank Dunia kepada kalian yang sudah membohongi masyarakat?” ungkapnya sambil mengarahkan pandangan pada Yando dan Johnnedi.

“Dari awal kami menolak. Kami tidak mau masuk dalam kesepakatan ini,” tambahnya.

“Kami dengan tegas menyatakan, sekali kami tolak, kami tetap tolak, apapun yang terjadi,” ungkapnya disambut teriakan dan tepuk tangan warga.

Frans Napang, warga Kampung Lempe, kemudian membacakan sebuah pernyataan sikap bersama yang telah mereka siapkan.

Dalam pernyataan itu, mereka menyebut pemerintah dan PT Geo Dipa melakukan upaya paksa yang mengabaikan suara warga yang menolak proyek ini yang telah disampaikan dalam berbagai kesempatan.

Ia antara lain menyinggung  berbagai aksi dan audiensi dengan pihak terkait, surat penolakan resmi ke Bank Dunia sebagai pendana proyek pada Februari 2020 dan Juli 2021, hingga tatap muka dengan tim Bank Dunia di Wae Sano pada 9 Mei 2022.

“Kami menilai, pemerintah, Bank Dunia, dan PT Geo Dipa Energi pura-pura lupa, bahwa kami, sampai kapanpun tegas menolak rencana penambangan panas bumi di Wae Sano,” kata Frans.

Warga juga mengingatkan pemerintah, PT Geo Dipa Energi, dan Bank Dunia untuk tidak menggunakan slogan inclusiveness atau keterlibatan semua, legitimate atau legitimasi, dan indigenous people plan atau rencana penanganan masyarakat adat sebagai taktik untuk meloloskan proyek itu.

“Kami mendesak untuk hentikan segera bicara perubahan desain, penyediaan lahan, kompensasi, konstruksi, dan pengeboran, atau soal-soal teknis lain dari proyek ini,” katanya.

“Kami telah menyatakan berulang kali, bahwa kami menolak proyek ini. Sekali tolak tetap tolak, dengan seluruh apa yang ada di diri kami,” tambah Frans.

Setelah pembacaan pernyataan sikap itulah, sekitar 30-an warga serentak keluar dari ruangan sambil meneriakkan penolakan terhadap kehadiran Yando dan Tim Komite Bersama.

Sosialisasi kemudian tetap dilanjutkan, dengan peserta sekitar 15 orang yang masih bertahan.

Geri Minus dari Tim Komite Bersama sempat menanggapi suara penolakan warga dengan mengatakan bahwa prioritas titik pengeboran di Wellpad A adalah atas usulan masyarakat dan Bank Dunia, yang semula hendak dipindahkan ke hutan sekitar satu kilometer dari pemukiman, namun atas pertimbangan masyarakat, Keuskupan Ruteng, pemerintah, dan organisasi pecinta lingkungan disepakati berlokasi 150 meter dari rumah terdekat.

“Jadi pernyataan itu bukan pernyataan bohong-bohongan saya,” katanya. “Ini pernyataan resmi dari pemerintah.”

Sementara itu Yando menyatakan, mudah-mudahan pertemuan-pertemuan setelah dua tahun terakhir ia terlibat dalam masalah ini “tidak lagi membicarakan pro dan kontra.”

“Diskusi kita ke depan adalah bagaimana membuat proyek ini berjalan dan betul proyek ini bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada warga, tidak terkecuali yang mendukung maupun menolak,” katanya.

Yando menjelaskan, keterlibatannya dalam proyek geothermal Wae Sano bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang timbul akibat  penolakan warga.

Ia mengaku, sejak awal ia yang ditugaskan oleh Kantor Staf Presiden sudah bertemu dengan berbagai pihak, termasuk Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat.

“Saya datang pada saat itu sebagai utusan Kantor Staf Presiden yang ditugaskan untuk menyelesaikan persoalan penolakan proyek Wae Sano ini, yang disampaikan oleh Yang Mulia Uskup Ruteng,” ungkapnya.

Menurutnya, desain proyek geothermal Wae Sano diubah setelah diusulkan oleh masyarakat dan para ahli dari dalam dan luar negeri.

“Itu adalah jawaban pemerintah, bahwa memang untuk sementara kita mulai dari Wellpad A ini,” ungkapnya.

Semua upaya pemerintah, kata dia, dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Pemerintah yakin bahwa secara teknologi, secara ekonomi, dan juga secara sosial proyek Wae Sano ini layak untuk dilanjutkan,” tambahnya.

Johnnedy Situmorang mengungkapkan bahwa perubahan desain tapak pengeboran di Wellpad A adalah hasil usulan Bank Dunia.

“Setelah diskusi sampai saat ini, keputusan Bank Dunia mengajukan revisi, perubahan prioritas pengeboran menjadi Wellpad A,” ungkapnya.

Upaya lainnya yang akan dilakukan bersama pemerintah, menurut John, adalah mengadakan forum lonto leok, atau duduk bersama masyarakat,  mendiskusikan setiap kegiatan perusahaan di lokasi.

Aksi walk out dalam sosialisasi ini merupakan lanjutan dari aksi protes serupa sebelumnya dari warga Wae Sano terhadap rencana proyek geothermal di desa mereka.

Awalnya proyek itu, dengan perkiraan bisa menghasilkan energi listrik 45 MW, direncanakan dikerjakan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur [PT SMI], namun belakangan beralih ke PT Geo Dipa Energi. Keduanya merupakan Badan Usaha Milik Negara di bawah Kementerian Keuangan.

Warga Wae Sano terus menyuarakan protes, baik dengan beberapa kali menghadang tim dari pemerintah yang mendatangi wilayah mereka, maupun dengan aksi damai di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat.

Pada 4 Maret 202 mereka mengadakan parade hasil bumi di Labuan Bajo, dengan membawa berbagai hasil pertanian, seperti padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan berbagai jenis sayuran, sebuah aksi simbolis bahwa kehadiran proyek itu akan mengancam sumber kehidupan mereka.

Warga menggelar ‘Parade Hasil Bumi’ di Labuan Bajo pada Jumat, 4 Maret 2022, menolak proyek geothermal Wae Sano. [Foto: Floresa].
Pihak pemerintah dan perusahaan telah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi sikap warga, termasuk dengan melakukan pendekatan kepada pimpinan Gereja Katolik.

Upaya itu memang berhasil ketika Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat membuat surat kepada Presiden Joko Widodo pada Mei tahun lalu, memberi rekomendasi untuk melanjutkan protek itu.

Namun, surat itu yang disusul dengan pembentukan panitia bersama antara Keuskupan, pemerintah dan perusahaan telah memicu protes terbuka warga Wae Sano, yang adalah umat Katolik, kepada pimpinan mereka.

Bank Dunia sempat menemui warga Wae Sano pada 9 Mei 2022, setelah warga dua kali mengirim surat meminta lembaga itu menghentikan pendanaan proyek ini. Saat pertemuan itu warga tetap menyatakan penolakan, sementara Bank Dunia memberi tahu mereka untuk mengkaji kembali rencana pendanaan.

Proyek geothermal Wae Sano adalah salah satu dari proyek geothermal yang didorong pemerintah di sejumlah tempat di Pulau Flores menyusul penetapan pulau itu pada 2017 sebagai Pulau Geothermal.

Proyek itu adalah merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dikenal dengan nama Proyek Pengeboran Pemerintah atau Goverment Drilling (GEUDPP).

Di tempat lain, seperti di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai pemerintah juga sedang mendorong proyek serupa, perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Proyek yang ditargetkan akan menghasilkan 40 MW tenaga listrik itu juga ditentang warga.

Seperti halnya di Wae Sano, penolakan warga karena titik-titik pengeboran yang sangat dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA