Antisipasi Politisasi Agama Jelang Pemilu 2024, Jurnalis Perlu Patuhi Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman

Belum semua media massa taat pada pemenuhan jurnalisme berperspektif hak asasi manusia, membela korban, dan kritis pada kekuasaan, sebagaimana menjadi semangat dari Pedomaan Pemberitaan Isu Keberagaman

Floresa.co – Para jurnalis bisa mengambil peran mencegah praktik politisasi agama menjelang Pemilu 2024 dengan menaati panduan pemberitaan terkait isu-isu keberagaman, demikian menurut pakar dan praktisi media.

Rujukan penting bagi para jurnalis adalah Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman [PPIK] yang telah diterbitkan Dewan Pers pada akhir 2022.

“PPIK harus menjadi oksigen yang mengalir dalam darah wartawan Indonesia dan mewarnai hidup pers Indonesia,” kata Paulus Tri Agung Kristanto, Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Dewan Pers.

Tri Agung, yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas menegaskan hal itu saat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tentang “Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Jelang Pemilu Serentak 2024” pada Selasa, 10 Oktober  di Hotel Gren Alia, Jakarta.

Digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman [Sejuk] bekerja sama dengan International Media Support [IMS], diskusi itu dipandu oleh Saidiman Ahmad, Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting.

Karena pentingnya PPIK, kata Tri Agung, Dewan Pers telah memasukkannya sebagai salah satu materi saat menggelar uji kompetensi terhadap wartawan.

Shinta Maharani, jurnalis TEMPO yang juga membidangi Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia mengafirmasi pentingnya PPIK karena masih banyak pemberitaan media yang belum sepenuhnya setia pada Kode Etik Jurnalistik, terutama ketika meliput isu kelompok rentan, termasuk minoritas agama atau kepercayaan dan keyakinan.

Jurnalis, kata dia, masih banyak yang belum tahu cara memverifikasi secara ketat atau berlapis ketika meliput kasus-kasus intoleransi dan diskriminasi.

“Belum semua media massa taat pada pemenuhan jurnalisme berperspektif hak asasi manusia, membela korban, dan kritis pada kekuasaan, sebagaimana menjadi semangat dari PPIK,” katanya.

Shinta menjelaskan, temuannya merujuk pada data assessment atau survei yang menggunakan indikator PPIK Sejuk terhadap 12 media yang baru-baru ini terlibat dalam liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah.

Dalam liputan kolaborasi yang didiukung Sejuk – IMS ini, kata dia, ketika dikerjakan dengan mengacu pada PPIK, hasilnya berdampak positif.

Ia mencontohkan masalah pendirian rumah ibadah seperti gereja di Samarinda yang diangkat oleh Kaltimtoday.co.

“Gereja-gereja lainnya merasa mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasi, mempejuangkan hak-haknya untuk beribadah,” kata Shinta.

Yuni Pulungan, Manajer Program SEJUK mengatakan dalam sambutan diskusi publik ini, PPIK memang tidak boleh hanya sekedar sebagai sebuah dokumen, tetapi perlu diimplementasikan.

Implementasinya,  kata Yuni, perlu dikawal bersama, mengingat tren diskriminasi, intoleransi, dan persekusi terhadap kelompok minoritas terus terjadi dan media tidak banyak memberi ruang pemberitaan pada isu ini.

“Kalaupun memberitakan [isu keberagaman], jurnalis dan medianya lebih menyampaikan peristiwa lewat narasumber-narasumber resmi, tanpa mempertimbangkan dampak pemberitaan terhadap korban,” katanya.

Karena itulah, kata dia, “Sejuk mengajak 12 media di berbagai wilayah membuat kolaborasi liputan bertema #SemuaBisaBeribadah sebagai salah satu cara untuk menerapkan PPIK di media.”

Ia menegaskan, Sejuk berkomitmen mendorong pelembagaan PPIK bersama Dewan Pers di media-media melalui berbagai kegiatan di daerah maupun nasional.

Kegiatan itu, jelasnya, meliputi pelatihan jurnalisme keberagaman untuk jurnalis, kunjungan dan dialog media yang melibatkan kalangan editor dan pemegang kebijakan media, temu media atau diskusi kelompok terfokus bersama para editor.

Selain itu, kata dia, adlaah pemberian beasiswa liputan buat jurnalis, dana liputan kolaborasi untuk media, serta mengajak dan melibatkan kelompok minoritas, korban, maupun masyarakat sipil untuk aktif dan proaktif demi memastikan penerapan PPIK.

Sementara itu, berkaca pada pengalaman sebagai salah satu media yang terlibat dalam liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah, Ibrahim Yusuf, Pemimpin Redaksi Kaltimtoday.co mengamini keharusan jurnalis setia pada PPIK dan menerapkan indikator-indikatornya.

“Kami di Kaltim sadar benar, ketika meliput isu keberagaman, maka perspektif jurnalisnya harus beres,” katanya.

Ia mengatakan, selama ini memang isu keberagaman di Kalimantan Timur tidak mendapat perhatian dari media.

Ia juga menggarisbawahi risiko bagi jurnalis ketika melihat isu-isu ini, seperti yang dialami jurnalis Kaltimtoday.co.

“Ada intimidasi terhadap wartawan kami ketika meliput gereja-gereja yang mengalami diskriminasi dari kelompok intoleran,” katanya.


Berikut adalah isi lengkap Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman

PEDOMAN PEMBERITAAN ISU KEBERAGAMAN

MUKADIMAH

Keberagaman telah berakar sejak Republik Indonesia didirikan sehingga wartawan Indonesia perlu memahaminya dengan baik. Namun kenyataannya masalah keberagaman ini belum dapat dikelola dengan baik.

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjamin bahwa setiap orang mendapat perlakuan sama dalam menjalankan agama atau keyakinan dan mengekspresikan dirinya. Dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Dalam pemberitaannya, pers berkewajiban untuk menghormati hak tersebut, terlepas dari latar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dan gender, secara adil dan setara.

Penyusunan pedoman ini merujuk pada Pasal 6 b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Wartawan dalam mengawal fakta keberagaman wajib menghargai kebinekaan yang telah diatur dalam Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam memberitakan isu konflik, pers semestinya tidak hanya menginformasikan tetapi juga mendidik publik. Untuk itu, pers perlu memiliki sikap hormat terhadap keberagaman yang tercermin mulai dari pemilihan ide dan pelaksanaan liputan hingga penulisan berita.

Pedoman ini diharapkan menjadi rujukan bagi pers dalam memberitakan isu keberagaman, sehingga pemberitaan pers tidak memuat prasangka, kebencian, dan mengobarkan konflik. Dengan pedoman ini pers dapat berkontribusi untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

I. RUANG LINGKUP

    1. Pengertian tentang Pers, Kemerdekaan Pers, dan Wartawan dalam pedoman ini merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
    2. Pemberitaan adalah kegiatan merencanakan, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi yang dilakukan oleh wartawan dengan menggunakan berbagai saluran yang tersedia.
    3. Keberagaman adalah segala hal yang terkait dengan perbedaan identitas berdasarkan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dan gender

II. DASAR PEMBERITAAN KEBERAGAMAN

Wartawan Indonesia:

    1. Menjunjung tinggi konstitusi dengan menggunakan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan gender.
    2. Menaati Kode Etik Jurnalistik.
    3. Mengutamakan kemanusiaan dengan memperhatikan kelompok rentan, disabilitas, orang pada wilayah tertentu, dan orang dengan kondisi tertentu.

III. PEMILIHAN TOPIK LIPUTAN

Wartawan Indonesia:

    1. Mempelajari latar belakang peristiwa terkait dengan isu keberagaman.
    2. Memiliki sensitivitas dan mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi ketika memberitakan isu keberagaman.
    3. Menghormati kehidupan pribadi yang tidak berkaitan dengan kepentingan publik.

IV. PEMILIHAN NARASUMBER DALAM LIPUTAN

Wartawan Indonesia:

    1. Memilih narasumber yang relevan.
    2. Bersikap kritis dengan mengedepankan empati.
    3. Melindungi identitas korban, pelaku, saksi, dan keluarganya.

V. PRODUKSI PEMBERITAAN

Wartawan Indonesia:

    1. Menghindari diksi, suara, gambar, dan grafis yang merendahkan, menghina, menampilkan stereotipe, dan menyebarkan prasangka terhadap suatu kelompok, serta mendorong kebencian dan pelabelan negatif.
    2. Menjaga akurasi, melakukan verifikasi, serta keberimbangan.
    3. Menghindari judul yang sensational dan provokatif, serta mempertimbangkan dampaknya.
    4. Memberikan atribusi yang tepat dan relevan.
    5. Menghindari kutipan yang berisi ujaran kebencian.
    6. Menyebutkan keterangan waktu dan tempat yang jelas saat menampilkan materi dari arsip.
    7. Menghindari kutipan yang merupakan pesan (narasi) internal suatu kelompok tanpa verifikasi.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA